Peristiwa
Tegaskan Tanah Tersertifikasi, Tokoh Masyarakat di Jimbaran Kecam Aksi Kepet Adat
Selasa, 18 Februari 2025 | Dibaca: 176 Pengunjung
KIRI- KANAN: Made Sudita, Wayan Sukamta dan I Made Eben.
Ramai aksi untuk melakukan audiensi dilakukan Kesatuan Penyelamat Adat (Kepet Adat) yang mengatasnamakan warga Desa Jimbaran bertemu Komisi I DPRD Bali, Senin (3/2/2025) lalu.
Peristiwa dimaksud menuai beragam pendapat di lingkungan bawah masyarakat Desa Jimbaran. Bahkan, sempat berhembus dugaan indikasi atau motif tertentu di balik gerakan memperjuangkan hak-hak atas tanah yang ditempati secara turun temurun.
Gerakan yang mengatasnamakan masyarakat Desa Jimbaran, serta mempermasalahkan lahan PT Jimbaran Hijau, mulai menuai komentar dari beberapa tokoh Jimbaran.
Para tokoh menilai pernyataan yang disampaikan pihak Wayan Bulat, SH., (68) dan Kuasa Hukum Penggugat, I Nyoman Wirama, SH., diduga menyebarkan informasi sesat.
Diduga karena tidak ada lahan adat yang belum tersertifikat dan Wayan Bulat, sebenarnya bukan petani penggarap. Sebelumnya, menyampaikan perjuangan lahan adat Jimbaran dan menyerang pihak PT Jimbaran Hijau dengan informasi yang sesat.
Misalnya, Mantan Koordinator Baga Palemahan Desa Adat Jimbaran Wayan Sukamta mengatakan sampai saat ini tidak ada sengketa lahan adat di Jimbaran. Bahkan, yang menjadi lahan milik Desa Adat sudah semua tersertifikat.
“Selama saya menjabat sebagai prajuru desa adat Jimbaran tidak ada tanah milik desa adat bersengketa ataupun sedang terlibat masalah hukum dengan pihak manapun,” ujar pria yang sempat menjabat sebagai Kepala Lingkungan (Kaling) Bhuana Gubug, Jimbaran, Selasa (18/2/2025).
Mantan Prajuru Adat ini menambahkan, tanah milik desa adat yang total luasnya kira-kira 348.273 M2 semua sudah tersertifikasi dalam 33 sertifikat. Maka itulah, tidak ada bidang tanah desa adat yang masih dalam sengketa kepemilikan dengan pihak manapun. “Jelas tidak ada lahan adat, yang belum tersertifikat,” tambahnya.
Sehingga bilamana sekarang terdapat informasi di berbagai media mengenai adanya permasalahan tanah adat desa Jimbaran, dengan seseorang atau sekelompok orang. Sukamta menganggap hal itu menjadi aneh dan dia malah tidak tahu ini tanah desa yang mana.
"Sebab, tiba-tiba ada kelompok mengatakan tanah adat. Tanah adat yang mana? Semua tanah adat sudah selesai sertifikat,” bebernya tegas.
Ia berharap jangan sampai ada permasalahan pribadi atau sekelompok orang dengan pihak investor tersebut mencoba mengait-ngaitkan atau melibatkan Desa Adat dengan tujuan untuk mencari simpati masyarakat.
“Jangan sampai malah ada masalah pribadi atau kelompok, malah ingin menyeret-nyeret Desa Adat. Karena tanah ada sudah tuntas disertifikatkan,” katanya.
Menariknya, walaupun ada proses pengadaan lahan oleh investor di masa lalu, tentu saja semuanya harus dilakukan sesuai aturan dan persyaratan yang berlaku pada masa itu.
"Tentunya dalam hal ini pihak pemerintah (BPN) yang bisa menjelaskan apa proses yang dilakukan oleh investor sudah sesuai dengan peraturan yang berlaku atau tidak,” ucapnya.
Diduga munculnya Wayan Bulat yang tiba-tiba mengklaim banyak hal, juga diluruskan oleh Sukamta.
Wayan Bulat yang menjadi motor audiensi ini sebenarnya yang bersangkutan tidak pernah menjadi penggarap, tapi orang tuanya lah yang pernah menjadi penggarap di masa lalu. Namun, sudah menjual hak garapnya ke orang lain.
“Wayan Bulat datang kembali sekitar Tahun 2005, mengusir anak mantan penggarap dan membuat rumah tinggal di sana. Dari kejadian ini sekarang Pak Bulat, sedang mempunyai masalah hukum dengan pemilik lahan dan proses-nya masih berjalan di PN Denpasar,” terang Sukamta.
Tokoh Desa Adat Jimbaran sekaligus mantan Koordinator Baga Pawongan Made Sudita, mengatakan memang tidak ada tanah adat yang bermasalah.
“Saya Mantan Koordinator Baga Pawongan malah tidak mengetahui kalau di desa saya ada permasalahan ini (tanah adat),” kata dia.
Mengenai Bendesa yang ikut dalam audiensi di DPRD tentunya perlu diperjelas, dia datang dalam kapasitas sebagai seorang pribadi masyarakat atau mewakili lembaga desa adat, karena kalau memang ada permasalahan yang melibatkan tanah milik desa tentunya ini adalah hal yang serius. Karena itu, mestinya ini dibahas dalam pertemuan resmi atau paruman desa.
“Kalau memang hadir pribadi silakan. Kalau hadir mewakili Desa Adat, mestinya dibahas dulu di Tingkat Desa Adat. Jika ada pihak-pihak yang sedang berperkara di wilayah Desa Jimbaran, seharusnya bendesa lebih bijaksana dalam menyikapi permasalahan yang ada dan mengklarifikasi terlebih dahulu apalagi ada kaitannya dengan tanah desa, bukan malah seolah-olah seperti berpihak kepada salah satu pihak yang belum tentu benar,” tegas Sudita.
Lanjut Sudita, terhadap sikap-sikap saat audiensi ke DPRD Bali, menjadi aneh baginya. Karena tidak ada tanah adat dan semua pelaba desa adat sudah bersertifikat.
“Aneh, tanah yang mana? Semua sudah bersertifikat menjadi pelaba Desa Adat,” tegasnya.
Kesaksian menarik muncul dari mantan Karyawan PT CTS, I Made Eben bahwa sepengetahuannya semua proses lahan hingga akhirnya dikuasai oleh investor sudah melalui proses dan mekanisme aturan yang berlaku.
“Kenapa saya berani mengatakan hal ini, karena saya pernah menjadi bagian dari PT. CTS yang saat itu membebaskan lahan di Jimbaran. Saat itu, semua proses dilakukan dengan berkoordinasi dengan desa dan warga masyarakat yang pada saat itu memang menggarap tanah milik negara,” cerita Eben.
Ia menerangkan detail mengetahui siapa petani penggarap pada saat itu, sedangkan Wayan Bulat tidak pernah menjadi penggarap.
“Beliau (Bulat) adalah warga Jimbaran seorang pensiunan polisi, sekitar Tahun 2005-an beliau balik dari tugas luar Bali. Saat itu Pak Bulat sering melakukan kegiatan di pinggir sungai. Tempat di mana yang bersangkutan membangun rumah tinggal. Jadi kalau sekarang ada sekelompok orang mengaku mantan petani penggarap dan merasa tanahnya diambil secara paksa oleh investor, ini penggarap yang mana di lokasi mana?,” tanyanya.
Eben menilai justru melihat orang-orang yang ikut serta di kelompok audiensi tersebut yang tidak pernah ada keterkaitan sama sekali dengan lokasi tanah.
“Saya melihat orang-orang yang terlibat kelompok tersebut hanya sebagian kecil merupakan bekas penggarap, itupun mereka sudah pernah menerima ganti rugi atas lahan garapan mereka,” katanya.
Eben menegaskan perlu diketahui bahwa mereka yang melakukan audiensi di DPRD, mereka yang hadir tidak sepenuhnya warga Jimbaran yang sebagai mantan penggarap, jadi perlu dipertanyakan kapasitas mereka untuk hadir saat itu. “Apa kapasitas mereka hadir di sana? Aneh kan?,” tandasnya.
TANAH TURUN-TEMURUN
Untuk diketahui, Wayan Bulat, SH., (68) selaku penggugat dan wakil kelompok, menjelaskan mengajukan gugatan perbuatan melanggar hukum atau gugatan perwakilan kelompok (Class Action) terhadap PT Jimbaran Hijau yang berkedudukan di Perkantoran Griya Jimbaran Hub, Jalan Karangmas, Jimbaran, KutSel, Badung (Tergugat I); PT Citratama Selaras, berkedudukan di Jalan Hayam Wuruk Nomor 6, Sumerta Kelod, Denpasar (Tergugat II); Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Bali beralamat di Jalan Tjok Agung Tresna nomor 7, Renon, Denpasar (Tergugat III); PT Baruna Realty (Greenwoods Group) beralamat di Jalan TB Simatupang No.12, RT.1/RW.8, Cilandak Barat, Kecamatan Cilandak, Kota Jakarta Selatan (Tergugat IV); Kantor Pertanahan Kabupaten Badung, beralamat di Jalan Dewi Saraswati Nomor 3, Seminyak, Kecamatan Kuta, Kab. Badung (Turut Tergugat).
Menurut Kuasa Hukum Penggugat, I Nyoman Wirama, SH., yang menjadi duduk persoalan dalam mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum/perwakilan kelompok ini adalah sebagai berikut:
Bahwa penggugat perwakilan kelompok dalam gugatan ini terdiri dari lima kelompok, yaitu; 1. Penyakap: Adalah kelompok masyarakat yang merupakan warga penyakap tanah ayahan Desa Adat Jimbaran yang memiliki surat pengelaga dari Desa Adat Jimbaran. 2. Waris Penyakap: Adalah kelompok masyarakat yang merupakan ahli waris dari warga penyakap tanah ayahan Desa Adat Jimbaran yang memiliki surat pengelaga dari Desa Adat Jimbaran. 3. Pemilik Lama: Adalah masyarakat yang memiliki hak-hak lama atas tanah dan/atau masyarakat yang pernah melakukan penguasaan fisik sporadik secara beritikad baik pada objek sengketa. 4. Krama Desa Adat: adalah Krama Desa Adat (anggota/masyarakat Desa Adat Jimbaran dan desa adat sekitarnya) yang berkepentingan terhadap objek sengketa. Beserta 5. Krama Subak: Adalah masyarakat petani tradisional yang tergabung sebagai anggota sejumlah Subak Abian di lokasi objek sengketa. Subak Abian merupakan salah Satu Kesatuan Masyarakat Hukum Adat di Bali yang diakui dan dilindungi oleh Konstitusi Negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
"Bahwa pada Tahun 1994 pemerintah melakukan pembebasan lahan dengan alasan untuk kepentingan umum. Di mana pembebasan lahan tersebut dilakukan dengan cara-cara represif dan kekerasan serta menggunakan aparatur negara. Bahwa pembebasan lahan dengan kekerasan yang awalnya dikatakan untuk kepentingan umum ternyata ditumpangi kepentingan bisnis pribadi. Di mana pada lahan para penggugat yang dibebaskan kemudian terbit sejumlah Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB)," ujar Wirama, di dampingi tim advokatnya, I Wayan Adi Aryanta, S.E, S.H, M.H; I Ketut Sukardiyasa, S.H; Dr. I Wayan Majuarsa, S.H., S.Sos., M.M, dan I Made Widiasa, S.H., di hadapan Komisi I DPRD Bali, Senin (3/2/2025) di Wantilan DPRD Bali.
Menurut Wirama, bahwa di antara SHGB yang terbit, diantaranya yang berhasil ditelusuri oleh penggugat, yaitu: SHGB nomor 370/Jimbaran, SHGB nomor 371/Jimbaran, SHGB 372/Jimbaran, SHGB nomor 188/Jimbaran, SHGB nomor 190/Jimbaran, SHGB nomor 192/Jimbaran, SHGB nomor 193/Jimbaran, SHGB nomor 189/Jimbaran, SHGB nomor 1069/Jimbaran, SHGB nomor 386/Jimbaran, SHGB nomor 4138/Jimbaran, SHGB nomor 4137/Jimbaran. 012
TAGS :