Kata Wedhatama, Perda Provinsi Bali Nomor 8 Tahun 2019 tentang Sistem Pertanian Organik yang digagas Gubernur Bali Wayan Koster, mendukung pertanian Bali yang berbasis keselarasan alam dan organik, tentu juga ramah lingkungan sebagaimana warisan leluhur Bali yang bersinergitas antara manusia, alam, dan lingkungan.
“Jadi Perda Sistem Pertanian Organik merupakan ide revolusioner Bapak Gubernur Wayan Koster untuk menjaga kesehatan ekosistem alam Bali dari gempuran produk kimia, hingga menjaga kesehatan pangan yang akan dikonsumsi masyarakat Bali. Ini ide cemerlang yang cukup berani di dalam maraknya perusakan alam dan lingkungan akibat produk-produk sintetis/kimia baik berupa pupuk, pestisida, herbisida, dan sebagainya,” katanya, Selasa (17/1/2023).
Lebih lanjut, regulasi harus dapat diimplementasikan, di mana mengajak masyarakat untuk bertani sekaligus menjaga alam lingkungan dan manusia. Diketahui brand Bali, sangat kuat di mancanegara, apalagi Bali sebagai salah satu penghasil produk pertanian seperti palawija, hortikultura, dan perkebunan.
Ia berharap pemerintah harus mempercepat pembuatan Lembaga Sertifikasi Organik (LSO) sebagai wadah legal ter-sertifikasinya kebun-kebun organik para petani di Bali.
“Merawat ekosistem alam dengan melakukan perilaku organik yang tersertifikasi, otomatis nilai tambah produk pertanian petani Bali akan meningkat, baik secara kualitas, produktivitas maupun harga produk menjadi meningkat, lalu manfaat ekonominya dirasakan oleh petani itu sendiri,” tegasnya.
Sementara itu, Forum DAS Bali, Dr. Ir. I Made Sudarma, MS., menilai Gubernur Koster merupakan pemimpin yang sangat komit terhadap perlindungan lingkungan untuk menjaga ekosistem alam Bali, dengan nilai-nilai kearifan lokal Bali, Sad Kerthi yang tertuang dalam visi Nangun Sat Kerthi Loka Bali. Dari nilai-nilai Sad Kerthi,
“Saya lihat ada yang berpihak kepada ekosistem alam Bali, yaitu Segara Kerthi (penyucian dan pemuliaan pantai, laut), Danu Kerthi (penyucian dan pemuliaan sumber air), dan Wana Kerthi (penyucian dan pemuliaan tumbuh-tumbuhan),” ucapnya.
Di antaranya; Pergub Bali tentang Pembatasan Timbulan Sampah Plastik Sekali Pakai, Pergub Bali tentang Perlindungan Danau, Mata Air, Sungai, dan Laut, hingga Pergub Bali tentang Pengelolaan Sampah Berbasis Sumber yang dikeluarkan Gubernur Koster harus terus di monev untuk mengetahui seberapa besar program ini berjalan.
“Dalam mengatasi permasalahan lingkungan, ini merupakan tugas bersama, tidak saja dibebankan kepada Pemerintah Provinsi Bali, namun persoalan lingkungan seperti sampah plastik sampai perlindungan danau, mata air, sungai dan laut, sudah seyogyanya dilakukan oleh seluruh stakeholder dengan cara bertanggung jawab. Partisipasi masyarakat juga sangat menentukan dalam melakukan pengelolaan sampah berbasis sumber, seperti memilah sampah,” terangnya.
Selain itu, Bali perlu juga menegakkan law in postman/penegakan hukum kepada siapapun yang terbukti membuang sampah sembarangan.
“Kita harus belajar dari kasus penggunaan helm dan masker. Rasanya kalau tanpa penegakan hukum, rasanya susah untuk di Bali bisa menertibkan perilaku buang sampah sembarangan. Begitu penegakan hukum berjalan dengan baik, seperti penggunaan masker kemarin, sekarang orang sudah disuruh lepas masker tetapi masih banyak orang yang menggunakan masker dan bagi mereka itu adalah kebutuhan untuk kesehatan. Demikian juga harus dilakukan untuk persoalan sampah ini, agar semua lapisan masyarakat tertib dan disiplin menyelamatkan ekosistem alam di Bali, salah satunya dari ancaman sampah,” kata Sudarma sekaligus Dosen Ilmu Lingkungan Pasca Sarjasana Unud.
Sudarma mengapresiasi langkah Gubernur Koster dengan menerapkan konsep kearifan lokal Bali, Wana Kerthi kepada masyarakat untuk menjaga alam Bali. Karena, Gubernur Bali sudah melihat hutan itu tidak saja berfungsi sebatas menyediakan oksigen dan mengurangi emisi karbon, namun hutan juga sangat penting untuk menyediakan air tanah. 012