Peristiwa
Penolakan PKKPRL di Serangan, Ekomarin Perjuangkan Nelayan Kecil
Sabtu, 04 November 2023 | Dibaca: 405 Pengunjung
Suasana protes dilakukan warga masyarakat Desa Adat Serangan atas Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL), yang dikhawatirkan nelayan Serangan terjadi eklusifitas pesisir setempat, Senin (30/10/2023).
Aksi damai yang belakangan disampaikan masyarakat dan nelayan Desa Adat Serangan, Denpasar Selatan (Densel), sempat ramai perihal isu pengajuan izin Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) yang diajukan PT Bali Turtle Island Development (BTID) kepada Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali.
Warga Serangan secara terbuka membawa perangkat spanduk berisi tulisan penolakan atas rencana penguasaan ruang darat dan laut Desa Adat Serangan oleh PT BTID, karena kekhawatiran warga menduga bilamana wilayah terkait menjadi eksklusif dan tidak dapat dimanfaatkan nelayan setempat.
Menyikapi hal dimaksud, Koordinator Nasional Ekologi Maritim Indonesia (Ekomarin) Marthin Hadiwinata menerangkan apabila nelayan tidak dapat mencari hasil laut di sebuah kawasan yang sudah mengantongi PKKPRL.
Konon ia sebutkan, laut di kawasan tersebut nantinya hanya dikuasai oleh kelompok usaha yang memiliki izin dimaksud.
“Pasti seperti itu (eksklusivitas ruang laut). Ini kan mau mengkapling laut ibaratnya. Jadi nanti masyarakat tidak boleh dan tidak bisa melintas, apapun alasannya nanti, bisa saja nanti dibuat kawasan konservasi, kawasan wisata, dan lain-lain, sehingga nanti nelayan tidak bisa melintas dan menangkap ikan di sekitar situ,” kata Marthin, Kamis (2/11/2023).
Lebih lanjut, Marthin menerangkan bahwa segala pemanfaatan sumber daya wilayah pesisir harus mengacu pada rencana tata ruang yang diatur dalam Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K).
Melalui RZWP3K tersebut, Marthin kembali menerangkan pemilik modal harus memastikan adanya ruang penghidupan dan akses untuk nelayan kecil, nelayan tradisional, pembudidaya ikan kecil, dan petambak garam kecil.
Ruang penghidupan yang dimaksud itu secara jelas diatur dalam UU Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Petambak Garam.
Pada Pasal 25 ayat (5), disebutkan bahwa ruang penghidupan meliputi; wilayah atau zona menangkap ikan atau membudidayakan ikan; tempat melabuhkan kapal perikanan, dan; tempat tinggal nelayan kecil, nelayan tradisional, pembudi daya ikan kecil, dan petambak garam kecil.
Ditegaskan Marthin mengenai kesesuaian tata ruang penghidupan tersebut harus memperhatikan akses untuk nelayan kecil menangkap ikan. Ia berharap para nelayan mampu memperoleh hasil laut tanpa dibatasi secara teritorial.
“Apakah di sana ruang untuk wilayah tangkap ikan, yang berarti kan tidak bisa serta merta mereka tutup aksesnya. Jadi nelayan kecil ini di dalam UU Perikanan ada kebijakan untuk memberikan kebebasan menangkap ikan di seluruh wilayah Indonesia,” ungkap Marthin.
Bilamana ke depan PKKPRL ini terbit, Marthin mengatakan nelayan diduga bisa saja digugat secara perdata apabila melintas di kawasan milik PT BTID di Serangan.
Baginya, nelayan diduga bisa saja digugat meskipun mencari ikan di kawasan yang sejatinya merupakan wilayah tangkap mereka.
“Kalau melihatnya pemerintah ini kan punya kewenangan untuk melakukan upaya gugatan perdata. Jadi bukan tidak mungkin kalau misalkan upaya terkait dengan wilayah tangkap ikan dilakukan gugatan,” tuturnya.
Marthin juga menyoroti aksi unjuk rasa yang dilakukan oleh lebih dari ratusan perwakilan warga dan nelayan Desa Adat Serangan di Pantai Serangan, Denpasar Selatan, pada Senin (30/10/2023).
Mereka menolak rencana penguasaan ruang darat dan laut Desa Adat Serangan oleh PT BTID karena wilayah tersebut menjadi eksklusif dan tidak bisa dimanfaatkan nelayan setempat untuk mencari hasil laut.
Menurut Marthin, PKKPRL baru bisa diterbitkan jika usaha di kawasan tersebut diterima tanpa adanya protes dari masyarakat.
Oleh karena itu, Marthin menegaskan bahwa Pemprov Bali seharusnya tidak menerbitkan PKKPRL milik PT BTID.
“Ini kan ada protes, yang berarti konsultasi publik, proses Amdal yang termasuk di dalamnya, bermasalah. Seharusnya PKKPRL, termasuk izin pemanfaatan ruang lautnya, tidak bisa dikeluarkan dan harus ditolak karena ada protes dari masyarakat,” bebernya.
Sebagaimana diketahui, PT Bali Turtle Island Development (BTID) tengah mengajukan izin Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) untuk menguasai ruang darat dan laut Desa Adat Serangan, Denpasar Selatan.
PKKPRL ini diajukan oleh PT BTID yang menguasai 491 hektare luas Pulau Serangan, ke Pemerintah Provinsi Bali untuk melakukan berbagai pembangunan, salah satunya Pelabuhan Marina.
Padahal, sebelum PT BTID berencana membangun pelabuhan tersebut, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) sudah lebih dulu menginisiasi pembangunan Pelabuhan Marina di Desa Serangan.
Pelabuhan yang diinisiasi Bappenas ini nantinya akan difungsikan untuk kepentingan umum dan pemasukannya akan dikelola oleh Pemda Bali.
Sementara itu, masyarakat Desa Adat Serangan yang hanya menempati 101 hektare dari seluruh luas Pulau Serangan merasa kawasan PT BTID bersifat eksklusif dengan akses yang terbatas.
Nelayan yang hendak mencari ikan di kawasan milik PT BTID merasa kesulitan untuk masuk ke sana. 012
TAGS :