Peristiwa

Nelayan Serangan Ingin Pelampung dan Rompi Orange di KEK Ditiadakan, Tantowi Yahya: PT BTID Terbuka untuk Masyarakat

 Kamis, 30 Januari 2025 | Dibaca: 187 Pengunjung

Suasana usai rapat dan klarifikasi PT BTID dengan warga nelayan di Pulau Serangan, Denpasar, Selatan.

www.mediabali.id, Denpasar. 

Warga Desa Serangan Wayan Loka, menyatakan keluh kesahnya di hadapan anggota DPR RI dan PT BTID, menyikapi persoalan perubahan nama Jalan Pulau Serangan menjadi Jalan Kura Kura Bali, hingga masalah pelampung dan sulitnya akses melaut nelayan di Pulau Serangan.

"Kalau sekarang yang terdampak ada di nelayan pesisir, yang mencari rumput laut menjaring ikan pada saat air surut. Jumlah nelayan pesisir sekitar 100 orang. Mereka mengetahui ada pelampung sekitar Tahun 2018," ujar Loka, Kamis (30/1/2025).

Mengenai keamanan, Loka menilai masing-masing nelayan memiliki tanggung jawab bersama.

Namun, ada kalanya saat nelayan di Serangan masuk ke wilayah Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), mendapatkan perlakuan keamanan berlebihan. Loka menceritakan, nelayan wajib mengenakan rompi oranye dan menyerahkan sementara identitas diri.

"Kalau keamanan okelah, kita kan memiliki tanggung jawab bersama nelayan. Mari kita semua mengawal keamanan bersama. Hati nurani saya justru miris sekali, warna rompinya orange isi tulisan nelayan. Kalau rompi tahanan 'KPK' kan orange ya?," katanya

Kedepannya Loka berharap supaya pengenaan rompi orange, yang terkesan kurang manusiawi agar dihentikan.

"Yah, sebenarnya di dalam hatinya nelayan mereka menolak. Itu kan diharuskan seperti itu. Kita baru bersuara, padahal kejadian sejak 2018? Yah kita ini sebagai masyarakat nelayan, adalah masyarakat yang lemah. Kalau mengadunya ke pemerintah tidak ditanggapi sebagai regulator, ya ke mana lagi," bebernya.

Kedepannya pula, Wayan Loka juga mendorong PT BTID yang dianggap belum mewujudkan jembatan akses penghubung yang diinginkan masyarakat nelayan.

Konon janjinya sudah berjalan 27 tahun, hingga kini jembatan akses penghubung yang diminta warga belum terwujud. Jembatan ini juga akan membantu warga untuk akses persembahyangan.

"Saya berterima kasih banyak terkait yang sudah diwujudkan, namun masih banyak yang belum diwujudkan. Mohonlah, sampai 27 tahun saya tunggu, yang namanya 27 tahun adalah lama sekali terutama masalah jembatan itu. Jembatan akses menuju ke Pura-pura, terutama penolak bale, ritual yang kita punya dari leluhur kita, sebagai agar kita dianugerahi perlindungan secara lebih baik dan kita tidak cukup minta hanya berputar di lingkungan desa," katanya.

Ia menyatakan dalam suatu kesempatan pernah mengutarakan kebutuhan warga di Desa Serangan, pertemuan itu juga dihadiri management PT BTID Pak Zakki dan sepakat untuk melanjutkan apa yang sudah disusun bersama.

Sementara itu, Tantowi Yahya selaku Presiden Kampus United In Diversity (UID) Kura Kura Bali menyatakan bahwa mengetahui sebagian besar warga Serangan berprofesi sebagai nelayan. Pertemuan digelar sebagai ajang klarifikasi terhadap berbagai isu di masyarakat.

"Di depan anggota Dewan, kami telah menjelaskan apa adanya dan tidak ada yang kami tutup tutupi. Para anggota Dewan juga memberikan tanggapan yang sportif dan memberikan masukan apa adanya. Persoalan nama jalan, itu menjadi salah satu isu besar. Di mana itu, awalnya untuk memudahkan tamu-tamu G20 yang berkunjung, maka kami beri nama Jalan Kura Kura Bali. Saya rasa iya (Dicabut). Hal lainnya kami akan bahas secepatnya," tegas Tantowi.

Pihaknya mengomentari masalah pelampung yang dikeluhkan masyarakat nelayan. Hal ini sebelumnya bertujuan baik untuk mencegah tindak kriminalitas, tetapi karena ada desakan masyarakat, maka masalah pelampung akan disampaikan ke management PT BTID.

"Sedangkan, kalau pelampung itu, kita kan punya pengalaman sebelumnya, di mana pernah ada penumpukkan Bahan Bakar Minyak (BBM) liar. Petugas kami kan ngak bisa 24 jam di situ, yang dijaga security kan di akses areal masuk. Kalau yang di luar itu kan tidak. Hal lainnya dalam mencegah narkoba. Namun, karena (pelampung) ini dianggap sebagai penghalang, ya kami akan bawa ke dalam rapat management," bebernya.

Di sisi lain pelarangan untuk masuk ke KEK, dibantah Tantowi. Sebaliknya, ia mengakui KEK, sangat terbuka untuk masyarakat.

"Sebenarnya ngak ada ya, kami menyadari apabila tanah, pantai hingga air adalah milik negara. Kami sewa dan dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kepentingan masyarakat. Tidak ada juga di pulau ini terkait pengkaplingan laut. Saya sendiri tidak melihat pelarangan itu ada di mana. Yang menjadi masalah itu pada narasi yang disampaikan petugas di lapangan, seharusnya kami harus perbaiki," pungkasnya. 012


TAGS :