Ekonomi
Mewapadai Ajakan Penarikan Dana
Sabtu, 01 Februari 2025 | Dibaca: 1306 Pengunjung
Mewapadai Ajakan Penarikan Dana
Oleh Prof. Dr. Ida Bagus Raka Suardana, SE.,MM. (Dekan Fak. Ekonomi & Bisnis (FEB) Undiknas Denpasar)
Hari-hari ini ada muncul ajakan untuk menarik dana (tabungan dan deposito) dari tiga bank BUMN, yakni Mandiri, BRI, dan BNI setelah peluncuran DANANTARA. Bukan hanya ajakan, ada juga yang mengedarkan video seorang nasabah yang kehilangan uang deposito di sebuah Bank BUMN, padahal video tersebut kejadiannya tahun 2021, di-share seolah-olah kejadiannya saat ini. Jika ajakan itu direspons secara masif oleh masyarakat, dampaknya bisa sangat serius, bahkan berpotensi memicu krisis keuangan seperti yang terjadi pada 1998-1999.
Pada masa itu, kepercayaan masyarakat terhadap perbankan runtuh, bank-bank mengalami gagal bayar, nilai tukar rupiah anjlok, dan perekonomian Indonesia mengalami resesi mendalam. Ketika tabungan dan deposito ditarik dalam jumlah besar dalam waktu singkat, perbankan akan mengalami tekanan likuiditas yang signifikan. Bank-bank yang selama ini menjadi penopang pembiayaan sektor riil akan kesulitan menyalurkan kredit, menghambat investasi, serta memperlambat pertumbuhan ekonomi.
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), total dana pihak ketiga (DPK) yang tersimpan di perbankan nasional per Desember 2023 mencapai lebih dari Rp8.000 triliun. Dari jumlah tersebut, bank BUMN memegang porsi signifikan, yang digunakan untuk membiayai berbagai sektor produktif, termasuk UMKM, infrastruktur, dan industri strategis lainnya. Penarikan dana secara besar-besaran tidak hanya melemahkan kemampuan bank dalam menyalurkan kredit, tetapi juga berpotensi menaikkan suku bunga pinjaman. Jika suku bunga melonjak, biaya modal bagi dunia usaha meningkat, menyebabkan perlambatan pertumbuhan ekonomi, penurunan daya beli, dan pada akhirnya meningkatkan angka pengangguran.
Gerakan ajakan tarik dana ini berisiko menimbulkan efek domino yang lebih luas. Ketika kepercayaan terhadap sistem perbankan terguncang, masyarakat akan beralih ke aset yang dianggap lebih aman seperti emas atau mata uang asing, yang dapat mendorong depresiasi rupiah.
Melemahnya nilai tukar rupiah akan meningkatkan biaya impor, memperburuk neraca perdagangan, dan menambah tekanan inflasi. Kondisi ini bisa menyeret Indonesia ke dalam skenario stagflasi, yaitu pertumbuhan ekonomi yang melambat disertai kenaikan inflasi. Jika hal ini terjadi, pemulihan ekonomi pascapandemi yang sedang berlangsung dapat terganggu, menghambat pencapaian target pertumbuhan ekonomi yang telah ditetapkan pemerintah.
Meskipun ada ketidakpuasan terhadap kebijakan ekonomi tertentu, menarik tabungan dan deposito dari bank BUMN bukanlah solusi yang tepat. Bank-bank ini memiliki peran vital dalam mendukung pembangunan nasional dan stabilitas sistem keuangan. Perlu dipahami bahwa sistem perbankan di Indonesia saat ini jauh lebih kuat dibandingkan pada masa krisis 1998. Rasio kecukupan modal (CAR) perbankan nasional berada di atas 20 persen, jauh di atas ambang batas internasional sebesar 8 persen. Selain itu, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menjamin dana nasabah hingga Rp2 miliar per bank, memberikan perlindungan bagi simpanan masyarakat.
Menyikapi situasi ini, langkah yang harus dilakukan adalah meningkatkan literasi keuangan masyarakat agar tidak mudah terprovokasi oleh informasi yang tidak akurat. Pemerintah, melalui OJK dan Bank Indonesia, perlu terus memberikan edukasi mengenai pentingnya perbankan dalam perekonomian serta memastikan transparansi dalam pengelolaan kebijakan fiskal dan moneter. Selain itu, pemerintah harus memperkuat komunikasi publik untuk meredam kepanikan serta meyakinkan masyarakat bahwa sistem keuangan nasional berada dalam kondisi yang aman dan terkendali. (***)
TAGS :