Politik

MEMBANGUN KONSENSUS: PPHN SEBAGAI ARAH KEBIJAKAN UNTUK MASA DEPAN INDONESIA

 Kamis, 24 April 2025 | Dibaca: 1291 Pengunjung

www.mediabali.id, Nasional. 

Oleh: Dr. I Wayan Sudirta, SH., MH.

(Anggota Badan Pengkajian MPR Fraksi PDI-Perjuangan)

HAKIKAT PPHN

Mengapa PPHN diperlukan? Apakah Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2025-2045 sebagaimana UU Nomor 59 Tahun 2024 belum cukup memadai untuk menjadi landasan pembangunan nasional?. Untuk menjawab pertanyaan ini, maka perlu dilihat RPJPN secara komprehensif. Dimana ada 4 (empat) Visi dalam RPJPN 2025-2045 yaitu pendapatan per kapita setara dengan negara maju; kemiskinan menurun dan ketimpangan berkuran; kepemimpinan dan pengaruh di dunia internasional meningkat; dan daya saing sumber daya manusia meningkat.

Untuk mencapai visi tersebut dan dikaitkan dengan tujuan 100 tahun kemerdekaan atau dikenal juga dengan Indonesia Emas 2045, RPJPN 2025-2045 telah menegaskan 8 (delapan) agenda pembangunan yaitu: mewujudkan transformasi sosial; mewujudkan transformasi ekonomi; mewujudkan transformasi tata Kelola; memantapkan supremasi hukum, stabilitas, dan kepemimpinan Indonesia; memantapkan ketahanan sosial budaya, dan ekologi; mewujudkan pembangunan kewilayahan yang merata dan berkeadilan; mewujudkan sarana dan prasarana yang berkualitas dan ramah lingkungan; dan ,ewujudkan kesinambungan pembangunan.

Selanjutnya, bagaimana kaitannya dengan PPHN? Apakah dengan demikian, PPHN “hanya” menegaskan yang sudah diatur dalam RPJPN 2025-2045?. Untuk menjawab hal tersebut, termasuk juga dua keraguan yang ada dalam masyarakat tentang PPHN. Pertama, hakikat PPHN dan kedudukannya setelah adanya RPJPN 2025-2045 (dan juga UU Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional atau SPPN); kedua, menjawab keraguan masih perlukah haluan negara (PPHN) dan masih berwenangkah MPR menetapkannya?

Dikutip pada Penjelasan UUD NRI Tahun 1945, yang menyatakan bahwa “Majelis Permusyawaratan Rakyat ialah penyelenggara negara yang tertinggi. Majelis ini dianggap sebagai penjelmaan rakyat yang memegang kedaulatan rakyat.” Pada bagian selanjutnya, ditegaskan “Oleh karena Majelis Permusyawaratan Rakyat memegang kedaulatan negara, maka kekuasaannya tidak terbatas, mengingat dinamika masyarakat, sekali dalam 5 tahun Majelis memperhatikan segala yang terjadi dan segala aliran-aliran pada waktu itu dan menentukan haluan-haluan apa yang hendaknya dipakai untuk dikemudian hari.”

Istilah haluan negara sendiri dipergunakan dalam UUD 1945 sebelum amandemen. Ketentuan Pasal 3 UUD 1945 sebelum amandemen menyebut “MPR menetapkan UUD dan garis-garis besar daripada haluan negara” dan Penjelasannya menyatakan: “...DPR senantiasa dapat mengawasi tindakan-tindakan Presiden dan jika Dewan menganggap bahwa Presiden sungguh melanggar haluan negara yang telah ditetapkan oleh undang-undang dasar atau Majelis Permusyawaratan Rakyat...”. Dalam konstruksi diatas, haluan negara mempunyai makna sebagai pedoman bagi penyelenggaraan negara. Berdasarkan pengalaman UUD 1945 sebelum amandemen, Jimly Asshidiqie berpendapat bahwa haluan negara mencakup pengertian Haluan negara yang tercantum dalam UUD 1945; Haluan negara yang tertuang dalam ketetapan-ketetapan MPR/S; Haluan negara dalam pengertian program kerja yang tertuang dalam Ketetapan MPR tentang GBHN; dan Haluan negara yang tertuang dalam UU APBN.

Sistem UUD 1945 sebelum amandemen menghendaki suatu pola kebijaksanaan yang tersusun secara sistematik, spesifik dan terencana dari waktu ke waktu yang ditunjukkan adanya GBHN. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa haluan negara merupakan tindakan politik yang akan melahirkan hukum. Oleh karena, haluan negara merupakan sumber hukum materiil, artinya ia merupakan sumber inspirasi bagi perbuatan hukum.

Dengan demikian, secara teoritis, PPHN dapat dikaji melalui lensa teori konstitusionalisme substantif yang tidak hanya memandang konstitusi sebagai teks hukum positif, tetapi juga sebagai instrumen etis dan filosofis yang memandu penyelenggaraan negara. Dalam kerangka ini, PPHN dapat diposisikan sebagai bentuk Directive Principles of State Policy (DPSP), yaitu prinsip-prinsip panduan yang terdapat dalam konstitusi atau dokumen kebijakan strategis yang tidak justiciable (tidak dapat dipaksakan melalui pengadilan), namun bersifat fundamental dalam membentuk orientasi legislasi, kebijakan publik, serta alokasi sumber daya nasional.

Dapat disimpulkan bahwa haluan negara mempunyai makna dan kedudukan, pertama; sebagai acuan bagi penyelenggaran negara, dalam hal ini Presiden, untuk melaksanakan perencanaan maupun pembangunan nasional yang merupakan wujud dari kehendak seluruh rakyat Indonesia, demi mencapai suatu cita-cita yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945; kedua, sebagai elaborasi dari prinsip-prinsip yang terkandung dalam Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, Pembukaan UUD 1945 dan pasal-pasal dalam UUD 1945. Disitulah letak norma haluan negara, karena Pembukaan UUD 1945 mengandung konsepsi tentang jiwa bangsa (volksgeist), yang keberadaannya sudah dirintis jauh sebelum Indonesia merdeka.

Sistem bernegara yang dibentuk oleh UUD 1945 menempatkan nilai-nilai dan norma-norma yang disepakati bersama sebagai rujukan tertinggi sekaligus cita-cita luhur yang disepakati oleh para pendiri bangsa dengan mempertimbangkan segala kemajemukan yang terdapat di Indonesia dan sebagai bentuk pengejawantahan nilai-nilai Pancasila yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Karateristik tersebut, merupakan bentuk konsepsi demokrasi permusyawaratan yang ditekankan oleh para pendiri bangsa. Demokrasi permusyawaratan tersebut, adalah sebagai upaya menekankan konsensus (mufakat) di bawah sistematik negara kekeluargaan. Demokrasi permusyawaratan ini berusaha mengatasi paham perseorangan dan golongan.

Pada pertanyaan pertama, maka kesimpulannya adalah masih diperlukan sebuah haluan negara yang memberikan guidance ke depan bagi bangsa Indonesia, untuk mengaktulisasikan nilai-nilai dari Pancasila dan norma-norma dalam UUD 1945, khususnya sebagai penanda living constitution.

Dalam kaitan itu, maka perlu diperhatikan lebih lanjut Pendahuluan dalam Rancangan PPHN untuk lebih menegaskan desain triangle state consensus (Pancasila-UUD 1945-Haluan Negara).

MATERI MUATAN PPHN DIKAITKAN DENGAN PANCASILA DAN UUD NRI TAHUN 1945

Untuk materi muatan Rancangan PPHN ada baiknya membandingkan dengan materi muatan pada haluan negara sebelumnya. Pertama, GBHN pada periode orde lama tertuang dalam Ketetapan MPRS Nomor I/MPRS/1960 tentang Manifesto Politik Republik Indonesia sebagai Garis-garis Besar daripada Haluan Negara. Pada periode ini, materi muatan GBHN lebih bersifat ideologis dan politis, dengan penekanan pada konsep Nasakom (Nasionalisme, Agama, Komunisme) sebagai landasan persatuan bangsa. Sementara pembangunan lebih difokuskan pada pembentukan karakter bangsa dan ideologi negara.

Kedua, GBHN pada era Orde Baru lebih terstruktur dan fokus pada pembangunan ekonomi. Materi muatan GBHN dituangkan dalam Ketetapan MPR yang berlaku selama lima tahun. Penekanan pada Trilogi Pembangunan: Stabilitas Nasional, Pertumbuhan Ekonomi Tinggi, dan Pemerataan Pembangunan. Sektor pertanian dan industrialisasi menjadi prioritas dalam pembangunan ekonomi.

Ketiga, GBHN pada Era Reformasi (Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1999). Pada periode ini, materi muatan GBHN lebih komprehensif, mencakup berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk ekonomi, politik, sosial budaya, dan hukum. Penekanan pada reformasi di berbagai bidang, termasuk pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Sementara penguatan otonomi daerah menjadi salah satu fokus penting. Hal lainnya adalah pemberdayaan masyarakat dan pengembangan sumber daya manusia juga menjadi perhatian utama. GBHN pada periode reformasi juga menekankan pada mewujudkan masyarakat yang demokratis.

Melihat secara historis dari materi muatan haluan negara sebelumnya, ada beberapa catatan berkenaan dengan materi Rancangan PPHN, sebagai berikut:

1. Konteks dan Tujuan PPHN

Rancangan PPHN bertujuan menjadi arah kebijakan jangka panjang pembangunan nasional, menggantikan peran GBHN yang dahulu diatur oleh MPR. PPHN dirancang untuk memberikan kepastian arah pembangunan lintas rezim pemerintahan; menjadi acuan penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN); dan mengintegrasikan pembangunan pusat dan daerah serta antar sektor.

Sehubungan dengan hal tersebut, analisis berkaitan dengan tujuan PPHN adalah mencerminkan respons atas ketidakkonsistenan arah pembangunan pasca amandemen UUD 1945, yang menghapus kewenangan MPR dalam menetapkan GBHN. Namun, perlu diwaspadai potensi tumpang tindih antara PPHN dengan peran eksekutif yang telah memiliki mandat rakyat melalui pemilu langsung. Perlu jaminan bahwa PPHN tidak membatasi inovasi atau visi presiden terpilih. Oleh karena itu, pasal-pasal dalam UUD NRI Tahun 1945 yang sifatnya derective harus dicantumkan dalam naskah PPHN.

2. Prinsip dan Nilai Dasar

PPHN mengandung prinsip: Kedaulatan rakyat; Negara hukum; Persatuan nasional; Keadilan sosial; Pembangunan berkelanjutan; Pemerataan; serta Kemandirian dan ketahanan nasional.

Analisis terhadap prinsip dan nilai dasar PPHN adalah ideal dan sejalan dengan nilai-nilai Pancasila serta UUD 1945. Walaupun tantangannya adalah pada operasionalisasi prinsip tersebut ke dalam kebijakan yang terukur, evaluatif, dan bebas dari kepentingan politik jangka pendek.

3. Arah dan Strategi Pembangunan

Dokumen PPHN mencakup strategi di berbagai sektor, antara lain: Ekonomi yaitu transformasi menuju ekonomi berbasis nilai tambah, digitalisasi, kemandirian pangan dan energi; Sosial yaitu peningkatan SDM, kesehatan, dan kesejahteraan rakyat; Politik dan Hukum yaitu supremasi hukum, tata kelola pemerintahan yang baik; Lingkungan yaitu pembangunan rendah karbon dan adaptasi perubahan iklim; serta Pertahanan dan Keamanan yaitu modernisasi alat utama sistem senjata, ketahanan wilayah.

Strategi yang dipaparkan tergolong holistik dan ambisius, tetapi masih kurang inklusif. Sebaiknya naskah PPHN juga menjadi dokumen penjelas bagi adanya living constitution di Indonesia dengan mencakup perkembangan masyarakat dan konstitusi. Hal ini sekaligus merangkum kebijakan konstituisonal dalam satu dokumen pada PPHN sehingga langsumg menjadi acuan oleh masing-masing lembaga negara. Strategi juga belum dijelaskan secara rinci bagaimana prioritas sektor ditentukan dan bagaimana strategi ini bersinergi dengan perencanaan pembangunan sektoral yang telah ada. Terdapat risiko generalisasi dan tumpang tindih kebijakan apabila tidak diturunkan dalam indikator yang terukur dan sistem pengawasan yang efektif.

4. Hubungan Pusat dan Daerah

PPHN menekankan pada sinkronisasi antara pembangunan pusat dan daerah. Walaupun demikian, isu desentralisasi masih menjadi tantangan besar dalam praktik pembangunan nasional.

PPHN seharusnya tidak bersifat top-down sepenuhnya, melainkan perlu memastikan ruang partisipasi daerah dalam perumusan dan pelaksanaan arah pembangunan.

Kaitan dengan Desa, dimana dalam rancangan PPHN terdapat rumusan mengkritisi UU Desa, dalam kaitan pengaturan Desa Adat dalam UU tersebut. Perlu disikapi bahwa menemukan ruh pembangunan yang memberdayakan tidaklah mudah. Reformasi di Indonesia pada tahun 1998 telah memilih sistem desentralisasi. Otonomi daerah menjadi konsep operasionalnya. Bukan tidak berhasil, tapi penyelenggaraan otonomi daerah ternyata belum mampu melahirkan kesejahteraan bagi lapisan masyarakat terbawah yang hidup di desa. Otonomi daerah cenderung jamak menyediakan karpet merah bagi kelompok usaha untuk mengelola sumber daya alam daerah. Tidaklah mengherankan bahwa di era otonomi daerah lengket dengan paradigma market driven development dan desa masih terpinggirkan.

Mimpi menjadi daerah kaya dengan cara menyerahkan kedaulatan pengelolaan sumber daya alam kepada pasar ternyata benar-benar melenakan banyak kepala daerah. Alih-alih desa menjadi arena untuk melakukan aksi pengerukan kekayaan negara. Di daerah yang kaya sumber daya mineral pun masih banyak desa yang miskin dan tertinggal.

Wilayah yang kaya mineral dan tambang dirambah sedemikian rupa, hingga akhirnya hanya menyisakan ceruk-ceruk yang tak lagi produktif. Pembabatan hutan pun masih terus berlangsung, hingga bumi nusantara kehilangan fungsi sebagai paru-paru sekaligus penyimpan air tanah. Praktik kebijakan di era otonomi daerah menyebabkan desa banyak kehilangan sumber kakayaan hayati, kekayaan mineral, dan sumber penghidupan semakin minim. Otonomi daerah juga terlalu fokus pada membangun kawasan perkotaan yang menjanjikan revenue bagi pemerintah, sehingga desa hanya diberi sisanya sisa.

5. Legitimasi dan Kekuatan Hukum

PPHN dirancang untuk memiliki kedudukan hukum yang kuat, namun bukan bagian dari konstitusi atau produk legislasi biasa. Di sinilah letak dilema utama: jika PPHN tidak memiliki dasar konstitusional, maka efektivitas dan daya ikatnya akan lemah. Namun, jika diberi kekuatan hukum terlalu tinggi, bisa menimbulkan dualisme antara mandat rakyat kepada presiden terpilih dan arah pembangunan yang "didesain" oleh MPR.

BENTUK HUKUM PPHN

Bagaimana bentuk hukum dari Haluan Negara tersebut?, Sebagaimana artikel yang telah ditulis sebelumnya bentuk hukum yang paling tepat adalah melalui Ketetapan MPR yang akan lebih bersifat administratif, sehingga kedepannya perlu penataan yang serius agar kelak Ketetapan MPR yang ada hanya dikhususkan sebagai alas hukum dari Haluan Negara. Terkait hal ini terdapat juga kekhawatiran bahwa MPR akan kembali menjadi lembaga tertinggi negara. Sehingga akan bermuara pada potensi pemakzulan Presiden ditengah masa jabatannya jika dianggap melaksanakan pembangunan yang tidak sesuai dengan Haluan Negara. Untuk menjawab hal ini sebenarnya tidak terlalu rumit. Pertama yang pasti materi perubahan UUD NRI Tahun 1945 hanya dikhususkan terhadap substansi terkait Haluan Negara saja. Dalam hal ini ketentuan Pasal 3 yang mengatur tentang wewenang MPR, hanya ditambahkan 1 (satu) ayat yang menyatakan MPR menetapkan Haluan Negara. Usul perubahan tidak menyentuh tambahan kewenangan lain yang diberikan kepada MPR.

Adapun konsekuensi bagi Presiden jika program rencana pembangunannya tidak sesuai dengan Haluan Negara cukup dituangkan dalam norma yang mengatur tentang RAPBN (Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara). Usul Presiden tentang RAPBN dapat ditolak oleh DPR maupun DPD jika dianggap tidak sesuai dengan Haluan Negara. Disini akan semakin kuat juga konsep checks and balances diantara pelaksana penyelenggaraan negara.

Selanjutnya, apa langkah praktis dan strategis yang harus dilakukan untuk mengembalikan Haluan Negara kedalam sistem ketatanegaraan Indonesia melalui perubahan UUD NRI Tahun 1945?. Terkait hal ini yang perlu ditekankan, disosialisasikan, dan diyakinkan bahwa perubahan UUD NRI Tahun 1945 hanya dikhususkan terkait Haluan Negara saja. Perubahan Pasal 3 yang menambahkan norma kepada MPR untuk menetapkan Haluan Negara. Juga Penambahan pada Pasal 23 UUD NRI Tahun 1945 terkait dengan penolakan RAPBN oleh DPR dan/atau DPD yang diusulkan Presiden jika dianggap bertentangan dengan Haluan Negara.

Secara politis langkah yang harus ditempuh adalah melakukan komunikasi politik antar petinggi partai politik dan DPD untuk menyepakati bahwa usul perubahan UUD NRI Tahun 1945 dikunci hanya terkait Haluan Negara sebagaimana uraian diatas. Hal ini telah dicontohkan oleh para elit politik ketika melakukan perubahan UUD NRI Tahun 1945 pada perubahan ke-1 sampai dengan perubahan ke-4 pada tahun 1999 sampai dengan 2002. Pada saat itu disepakati bahwa perubahan UUD NRI Tahun 1945 tidak akan merubah Pancasila, Pembukaan UUD NRI Tahun 1945, dan juga bentuk negara kesatuan.

Langkah sosiologis, harus dilakukan sosialisasi, pemahaman, dan keyakinan kepada seluruh elemen masyarakat. Langkah sosiologis ini sangat penting agar rakyat benar-benar yakin bahwa perubahan UUD NRI Tahun 1945 nantinya akan memberikan manfaat sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat. Urgensi hadirnya Haluan Negara untuk semakin mendekatkan dan mempercepat pembangunan bangsa menuju masyarakat Indonesia yang cerdas, sejahtera, adil, dan makmur dapat segera diwujudkan. Langkah ini harus dilakukan secara menyeluruh dan meyentuh semua unsur elemen dalam masyarakat.

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

PPHN merupakan suatu bentuk reformulasi yang dirumuskan pokok-pokok kebijakan nasional bukan hanya bagi Presiden melainkan bagi semua lembaga-lembaga negara yang kewenangannya bersumber dari konstitusi atau Undang-Undang Dasar seperti, MPR, DPR, DPD, Presiden, BPK, MA, MK, dan KY.

Dengan dirumuskan pula kebijakan pokok lembaga-lembaga negara lainnya maka harmonisasi dan kesinambungan antar lembaga negara dapat berjalan. Keberadaan sistem perencanaan pembangunan nasional model GBHN (Haluan Negara) tidak berimplikasi kepada perubahan sistem pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Mengingat, Presiden tetap dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilu, hanya saja pada saat Presiden merumuskan Haluan Pembangunan (RPJMN) harus berdasarkan Haluan Negara yang bersifat pokok yang telah dirumuskan dan ditetapkan terlebih dahulu oleh MPR RI.

----- 0 -----

 

 


TAGS :