Peristiwa

Keluar dari Kategori Hiburan, Pengusaha SPA di Bali Sambut Sumringah Keputusan MK

 Jumat, 03 Januari 2025 | Dibaca: 221 Pengunjung

Para pelaku SPA di Bali, sumringah karena MK dikabarkan mengabulkan revisi Pasal 55 Ayat (1) huruf I, terhadap SPA keluar dari kategori hiburan, Jumat (3/1/2025).

www.mediabali.id, Denpasar. 

Pengusaha SPA di Bali, berujung senyum bahagia segera setelah Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK RI), merevisi UU Nomor 1 Tahun 2022, yaitu UU tentang hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, khususnya di Pasal 55 Ayat (1) huruf I, terhadap SPA keluar dari kategori hiburan.

"Kami sangat bersyukur karena pajak SPA, tidak masuk ke dalam kategori hiburan," ujar Ketua Inisiator Bali Bersatu I Gusti Ketut Jayeng Saputra, diiyakan Nyoman Upadana HRD SPA Bali Seminyak Kuta, dan Nyoman Sastrawan selaku Ketua DPD ASPI Bali, Jumat (3/1/2025) sore di Sanur, Denpasar Selatan.

Tidak dipungkiri sebelumnya akibat mencantumkan SPA sebagai bagian dari jasa hiburan yang dikenakan tarif Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PJBT) sebesar 40-75 persen dalam norma yang diuji tersebut, berpotensi merugikan pengusaha dan eksistensi SPA sebagai bagian pariwisata di Bali.

"Tentu lewat perjuangan setahun (2014), usaha kita tidak sia-sia. Sekarang kita masih menggunakan insentif fiskal, semoga apa yang menjadi keputusan MK ini akan memberi keringanan dari pemerintah daerah (Pemprov Bali). Diklasifikasikan SPA yang autentik bergerak di bidang pariwisata, dibanding SPA ilegal," tegasnya. 

Sebelumnya, di dalam UU HKPD Pasal 55 ayat (1) huruf I, pemerintah mengelompokkan jasa SPA ke dalam jasa kesenian dan hiburan, seperti halnya diskotek, karaoke, kelab malam, dan bar. Asosiasi dan pengusaha yang bergerak di bidang SPA menilai bahwa SPA lebih mengarah ke pelayanan kesehatan sebagaimana tertera pada Permenkes Nomor 8 Tahun 2014 dan program Kementerian Kesehatan yang menjadikan spa sebagai bagian dari pelayanan kesehatan tradisional.

"Jadi secara harga diri kami sebagai pelaku dan pengusaha SPA, karena masalah sebelumnya kita dimasukan ke dalam kategori hiburan. Itu sangat menyakitkan, sebab kami sebelumnya telah menjalankan sesuai KBLI, yakni pelayanan kesehatan tradisional. Kita bersatu dan dari ngak ngerti hukum, kami berjuang ada 18 orang dari Bali dan sisanya rekan dari Jakarta. Kita berjuang untuk keadilan, kita keluar dari kategori hiburan pada Pasal 55 Ayat (1) huruf I," beber Debra Maria Rumpesak selaku CEO Taman Air SPA.

Debra bersyukur karena MK mengabulkan permohonan para pengusaha SPA. "Ya kita ketahui SPA di Bali adalah yang terbaik," tegasnya.

Ditambahkan Sri Bhagawan Sripada Bhaskara selaku perintis SPA tradisional di Bali bahwa SPA memiliki keautentikan dan histori. 

"Saya merintis SPA sejak 17 tahun lalu, menilai SPA sangat jauh dari perspektif/kategori hiburan. Jadi marwah dari SPA itu adalah kesehatan, sehingga ini harus berkolaborasi dengan Pemprov Bali, tidak saja dari pandangan pariwisatanya, tetapi juga tradisinya, budaya, dan efek kesehatannya," ungkapnya.

Dewa Jayantika selaku Director of Administration & Business Development menerangkan SPA yang terkait kesehatan dan pengobatan tradisional, bukan dikategorikan ke hiburan.

"Customer yang datang ke SPA, mengalami keluhan, tidak saja masalah fisik, tetapi mental. Saat terapi kami gunakan aromaterapi dan musik yang memberikan ketenangan pikiran," ucapnya.

Ditegaskan oleh Jero Ratni Owner Eling Group, perjuangan pelaku dan pengusaha ke depan akan berlanjut. Tidak hanya saat MK memutuskan SPA, tidak lagi dimasukan ke kategori hiburan.

"Kami ketahui soal pajak 40-75 persen itu tidak sedikit. Saat kita angkat harga SPA lebih tinggi, tentu pengaruhnya ke klien. Saat kami coba ubah nama SPA, menjadi Bali Retreat, ternyata sulit mendatangkan klien. Branding dan image SPA, jauh lebih dikenal dan disukai para klien," terangnya.

Sebelumnya, berdasarkan data-data dihimpun Media Bali, diketahui para Pemohon Perkara Nomor 19/PUU-XXII/2024 memperbaiki permohonannya mengenai pengujian Pasal 55 ayat (1) huruf l dan Pasal 58 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD). 

Para Pemohon menambahkan uraian terkait kerugian konstitusional yang potensial terjadi akibat mencantumkan spa sebagai bagian dari jasa hiburan yang dikenakan tarif Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PJBT) sebesar 40-75 persen dalam norma yang diuji tersebut.

Kuasa hukum para Pemohon, Mohammad Ahmadi mengatakan, kerugian yang dimaksud berdampak pada ekonomi maupun sosial. Dia menuturkan, norma Pasal 55 ayat (1) huruf l dan Pasal 58 ayat (2) UU HKPD merusak upaya para Pemohon yang selama ini membangun usaha SPA sebagai bagian usaha di bidang kesehatan tradisional warisan budaya bangsa yang kebanyakan ialah Usaha Mikro Kecil Dan Menengah (UMKM). Kemudian, timbul pencitraan yang berkesan negatif dari ketentuan yang memasukkan usaha spa dalam kategori yang disamakan dengan bisnis hiburan malam, kelab malam, bar, dan diskotek.

“Kerugian ekonomi berupa pengenaan pajak yang tinggi sebesar 40 persen potensi bangkrutnya usaha spa sebagai pengenaan pajak yang tinggi tersebut,” ujar Ahmadi dalam sidang perbaikan permohonan yang dipimpin Hakim Konstitusi Arief Hidayat didampingi Hakim Konstitusi Anwar Usman dan Hakim Konstitusi Arsul Sani pada Senin (4/3/2024) di Ruang Sidang Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta.

Selain itu, berpotensi juga adanya tarif pajak berganda dengan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sekaligus tarif PJBT. Potensi bangkrutnya usaha SPA sebagai akibat pengenaan tarif pajak yang tinggi tersebut menimbulkan potensi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) bagi Pemohon perorangan yang bekerja di bidang usaha spa.

Para Pemohon juga memperbaiki kedudukan hukum, kewenangan Mahkamah Konstitusi, alasan-alasan pokok permohonan, serta petitum. Dalam petitumnya itu, para Pemohon meminta Pasal 55 ayat (1) huruf l dan Pasal 58 ayat (2) UU HKPD bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945. Para Pemohon meminta MK memaknai norma tersebut tanpa mencantumkan frasa “dan mandi uap/spa”.

Perkara ini dimohonkan oleh 22 Pemohon yang terdiri dari badan hukum perkumpulan atau organisasi (Pemohon I-II), badan hukum privat (Pemohon III-IX), dan perorangan (Pemohon X-XXII) yang berkaitan dengan usaha kesehatan spa. Para Pemohon mendalilkan norma Pasal 55 ayat (1) huruf l dan Pasal 58 ayat (2) UU HKPD bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (1) UUD NRI 1945. Pasal 55 ayat (1) huruf l berbunyi, “Jasa kesenian dan hiburan sebagaimana dimaksud dalam pasal 50 huruf e meliputi: l. Diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa.” Pasal 58 ayat (2) menyatakan, “Khusus tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 40% (empat puluh persen) dan paling tinggi 75% (tujuh puluh lima persen).”

Para Pemohon merasa dirugikan karena usaha SPA yang bergerak dalam bidang kesehatan kemudian dikategorikan sebagai penyedia jasa kesenian dan hiburan yang disamakan dengan diskotek, karaoke, kelab malam, dan bar. Akibatnya, pengusaha SPA harus menanggung tarif PBJT sebesar 40-75 persen yang dikenakan pemerintah daerah (pemda). Sementara, usaha sejenis panti pijat dan pijat refleksi hanya dikenakan tarif PBJT sebesar 10 persen.

Menurut para Pemohon, seharusnya mandi uap/spa yang merupakan jasa pelayanan kesehatan tradisional tidak dimasukkan dalam kategori jasa seni dan hiburan yang dikelompokan bersama diskotek, karaoke, kelab malam, dan bar.

Para Pemohon merasakan ketidakadilan dan berimbas pada masyarakat yang bisa dirugikan karena pengusaha SPA akan menambah biaya PBJT sebesar 40-75 persen untuk setiap jasa perawatan kesehatan SPA kepada konsumen/klien. Hal ini kemudian berbuntut pada minat masyarakat menurun untuk melakukan perawatan tubuh melalui jasa SPA. Untuk itu, para Pemohon meminta agar pasal-pasal yang diuji dinyatakan inkonstitusional. 012

 

 


TAGS :