Peristiwa
Hakim Tolak Praperadilan Status Tersangka SPI Prof. Antara, Tim Hukum Unud akan Uji Pokok Perkara
Selasa, 02 Mei 2023 | Dibaca: 266 Pengunjung
Tim hukum Unud Gede Pasek Suardika dan kawan-kawan, paparkan praperadilan kliennya Prof. Antara ditolak dan diduga muncul persepsi seseorang dapat ditersangkakan dahulu, kerugiannya dicari belakangan, Selasa (2/5/2023) di PN Denpasar.
Rektor Unud Prof. Dr. Ir. I Nyoman Gde Antara, M.Eng., IPU., selaku pemohon dan termohon Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bali, akhirnya memasuki babak sidang putusan praperadilan, di mana Hakim Pengadilan Negeri (PN) Denpasar memberi putusan menolak permohonan terkait status tersangka dalam kasus dugaan korupsi dana Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) penerimaan mahasiswa baru jalur mandiri Tahun 2018-2022.
Hakim tunggal Agus Akhyudi, yang juga Wakil Ketua PN Denpasar memimpin sidang putusan praperadilan PN Denpasar, mengenai sah atau tidaknya penetapan tersangka, dengan pemohon Rektor Unud Prof. Antara, di mana hasilnya ditolak permohonan untuk seluruhnya.
"Kita hormati hasil putusan sebagai proses penegakan hukum. Hakim berbicara secara formil telah terpenuhi, secara materiil belum. Sementara kalau kita menyakini, dengan munculnya putusan MK 25 Tahun 2016, sebenarnya putusan negara itu harus muncul dulu baru orang ditersangkakan. Kalau begini konsepnya, ya sudah, nanti kita uji dipokok perkara," kata Tim Kuasa Hukum Unud, Gede Pasek Suardika, SH., MH., bersama I Nyoman Sukandia dan Erwin Siregar, Selasa (2/5/2023).
Baca juga:
Dit. Reskrimsus Polda Bali Tangkap Pelaku ABU, Akui Sakit Hati sehingga Viralkan Video Mesum Mantan
GPS menambahkan materi pokok perkara akan menjadi langkah selanjutnya. Namun begitu, ia yakini masih ada 'pintu' untuk SP3, karena audit dianggap ada yang belum keluar.
"Dari hasil putusan ini, artinya orang bisa ditersangkakan dulu, nanti kerugiannya kita cari belakangan. Artinya nanti Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Indonesia bisa diperlakukan sama. Kami bersama publik sudah punya potret bahwa Rektor Unud, ditersangkakan dalam kasus korupsi, yang katanya kerugiannya berbeda-beda itu, faktanya belum ada audit hasil perhitungan kerugian keuangan negara. Katanya itu tidak masalah, ya sudah. Artinya desain penegakan hukum kita ke depan untuk kasus korupsi, siapapun yang menjabat bisa ditersangkakan dahulu, nanti belakang saja cari alat bukti kerugian negaranya. Itu bisa menjadi efek domino ke berbagai instansi dan lembaga," katanya.
Sementara itu, Humas PN Denpasar Gede Putra Astawa menegaskan Putusan Praperadilan No 7/Pid.Pra/2023/PN Dps a.n Pemohon Prof. Antara, hakim telah menjatuhkan putusan sebagai berikut, yakni mengadili dalam eksepsi dengan menolak eksepsi termohon untuk seluruhnya.
"Jadi di dalam pokok perkara yakni menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya, kedua menghukum pemohon untuk membayar biaya yang timbul dalam perkara ini sebesar nihil," bebernya.
Lebih lanjut, dipaparkan mengenai inti pertimbangan hakim adalah; bahwa dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 selain memuat perluasan obyek pra peradilan, juga memberikan penjelasan atas pengertian 'bukti permulaan', 'bukti permulaan yang cukup' dan 'bukti yang cukup', yaitu; minimal 2 alat bukti sebagaimana termuat dalam Pasal 184 KUHAP
bahwa Pemeriksaan Praperadilan terhadap permohonan tentang tidak sahnya penetapan tersangka hanya menilai aspek formil, yaitu apakah ada paling sedikit 2 alat bukti yang sah dan tidak memasuki materi perkara.
"Maka untuk Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut serta ketentuan Pasal 2 ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 tahun 2016 tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan, dapat disimpulkan bahwa yang dipersyaratkan dalam penetapan tersangka adalah: hanya menilai aspek formil; adanya alat bukti yang sah paling sedikit 2; dan tidak memasuki materi perkara," tegasnya.
Menimbang bahwa berdasarkan fakta dipersidangan, pengadilan berpendapat telah terdapat alat bukti berupa saksi, ahli dan surat dalam penetapan pemohon sebagai tersangka dalam perkara dugaan penyalahgunaan dan Sumbangan Pembangunan Institusi (SPI) mahasiswa baru seleksi jalur mandiri Universitas Udayana tahun akademik 2018/2019 sampai dengan 2022/2023 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, Pasal 12 huruf e Jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan Undang-Undang R.I Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, dan semua alat bukti tersebut digunakan oleh termohon sebagai alat bukti untuk menetapkan pemohon sebagai tersangka, dengan demikian telah terdapat 3 alat bukti yang digunakan oleh termohon untuk menetapkan pemohon sebagai tersangka;
Dan, berdasarkan keseluruhan pertimbangan tersebut di atas, pengadilan berkesimpulan bahwa penetapan pemohon Prof. Dr. I Nyoman Gde Antara, M.Eng., sebagai tersangka telah didasarkan pada 3 alat bukti, oleh karenanya telah memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 Jo. Pasal 2 ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 tahun 2016 tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan, dengan demikian termohon dapat membuktikan dalil-dalil sangkalannya, mutatis mutandis penetapan tersangka atas diri pemohon adalah sah adanya.
"Selanjutnya, putusan praperadilan terhadap tersangka lainnya dalam perkara dugaan SPI Unud, putusannya menolak permohonan praperadilan," demikian tutupnya. 012
TAGS :