Ekonomi
Deteriorasi indikator makroekonomi
Senin, 07 April 2025 | Dibaca: 1313 Pengunjung
Oleh Prof. Dr. Ida Bagus Raka Suardana, SE.,MM. (Dekan Fak. Ekonomi & Bisnis (FEB) Undiknas Denpasar)
Deteriorasi (memburuknya) indikator makroekonomi nasional kini menjadi kenyataan yang sulit untuk dihindari. Kecenderungan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang terus mengalami penurunan selama beberapa bulan terakhir merupakan sinyal kuat melemahnya sentimen investor terhadap stabilitas ekonomi Indonesia. Hingga April 2025, IHSG telah terkoreksi lebih dari 7% secara year-to-date, mencerminkan aksi jual yang masif di sektor-sektor utama seperti perbankan, manufaktur, dan teknologi. Penurunan ini diperparah oleh kekhawatiran akan prospek pertumbuhan ekonomi yang suram, di tengah ketidakpastian global dan stagnasi permintaan domestik.
Di sisi lain, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat juga menunjukkan tren melemah. Data dari Bank Indonesia menunjukkan bahwa hingga pekan pertama April 2025, rupiah telah berada pada kisaran Rp16.300 per dolar AS, tertekan oleh derasnya arus modal keluar dan ketidakpastian arah kebijakan pemerintah. Melemahnya rupiah memicu kenaikan harga impor, khususnya pada komoditas strategis seperti pangan dan energi, yang pada akhirnya mengerek inflasi dan menekan daya beli masyarakat. Kenaikan harga kebutuhan pokok menjadi tantangan nyata bagi rumah tangga berpendapatan rendah, yang pendapatannya tidak bertumbuh secepat inflasi.
Lebih jauh lagi, gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang melanda berbagai sektor industri turut menambah tekanan. Kamar Dagang dan Industri (Kadin) mencatat bahwa pada kuartal pertama 2025, sedikitnya 150 ribu pekerja kehilangan pekerjaan, terutama di sektor tekstil, alas kaki, dan elektronik. Keadaan ini akan bisa lebih buruk akibat kebijakan tarif impor baru yang diberlakukan oleh Amerika Serikat, yang menetapkan tarif hingga 32 persen bagi beberapa komoditas ekspor Indonesia. Hal itu tentu secara signifikan akan menggerus daya saing produk Indonesia, dan bisa jadi akan membuat banyak industri domestik kesulitan mempertahankan kapasitas produksinya.
Situasi ekonomi yang penuh tekanan ini diperparah oleh ketidakpastian politik dalam negeri, menyusul disahkannya Undang-Undang TNI yang baru serta pembahasan intensif terhadap Rancangan Undang-Undang Kepolisian. Gonjang-ganjing politik ini dapat memicu keresahan sosial dan kekhawatiran investor, terutama terkait potensi intervensi militer dalam urusan sipil serta implikasi terhadap demokrasi dan penegakan hukum. Ketidakpastian ini menciptakan iklim usaha yang tidak kondusif dan memperburuk persepsi risiko terhadap stabilitas nasional.
Dalam menghadapi kondisi ini, pemerintah perlu segera merumuskan kebijakan pemulihan yang terintegrasi. Pertama, penting bagi otoritas fiskal dan moneter untuk bersinergi menjaga stabilitas harga dan nilai tukar, sambil mendorong pertumbuhan ekonomi melalui insentif fiskal yang tepat sasaran. Kedua, perluasan pasar ekspor non-tradisional harus didorong untuk mengurangi ketergantungan terhadap pasar Amerika. Ketiga, program perlindungan sosial harus diperkuat untuk menjaga daya beli masyarakat di tengah ancaman pengangguran. Keempat, pemerintah perlu membangun komunikasi politik yang transparan dan menenangkan, agar tidak memperburuk persepsi publik dan pelaku usaha. Dalam ketidakpastian ini, kepercayaan (trust) adalah mata uang terpenting yang harus dijaga. Pemerintah dan masyarakat harus bersatu dalam semangat gotong royong untuk memastikan bahwa krisis ini tidak berkembang menjadi bencana jangka panjang. (***)
TAGS :