Lingkungan

Cegah Perkawinan Anak di Bawah Umur, Perlu Kesadaran dan Kontribusi Kontrol Sosial Masyarakat  

 Rabu, 12 Juli 2023 | Dibaca: 309 Pengunjung

Suasana dalam diskusi dengan tajuk bertajuk ‘Raih Ijazah Sebelum Akta Nikah-Mari Cegah dan Stop Perkawinan Anak’, Rabu (12/7/2023) di Kantor RRI Kota Denpasar.

www.mediabali.id, Denpasar. 
Pengaruh ekonomi dan lingkungan tidak dipungkiri membawa pengaruh terhadap kontrol orang tua di dalam mengawasi anak-anaknya. Sejumlah persoalan yang dialami anak-anak, baik pernikahan di bawah umur, pelecehan seksual, hingga kekerasan terhadap anak memberi dampak psikologis dan dampak buruk terhadap masa depan anak.
Kondisi anak-anak tentunya harus diperhatikan setiap hari, Luh Riniti Rahayu dari LSM Bali Sruti mengatakan meski tidak 24 jam mengawasi anak, tentunya langkah nyata untuk saling mendukung masa depan anak. Apabila anak sampai menikah dini, tentu hak-haknya sudah hilang untuk bermain dan mencapai cita-citanya. 
 
“Orang tua bertanggung jawab di rumah, tetapi juga tidak bisa 24 jam. Di luar atau di sekolah juga akan diawasi guru, di lingkungan bermain anak-anak juga diawasi kawan-kawannya. Semua unsur masyarakat harus peduli dan ikut berkontribusi untuk perlindungan anak serta mencegah kasus perkawinan anak,” kata Rabu (12/7/2023) di Kantor RRI Kota Denpasar, dalam diskusi bertajuk ‘Raih Ijazah Sebelum Akta Nikah – Mari Cegah dan Stop Perkawinan Anak’.

Meski dianggap tidak ada data riil atas perkawinan anak, tetapi di Bali masih ada dan perkawinan anak dimaksud tidak didaftarkan dan diungkap.

“Di catatan sipil kita tidak akan pernah melihat perkawinan anak, yang ada hanya dispensasi, itu pun hanya beberapa saja. Yang melakukan perkawinan anak secara adat, itu banyak sekali karena mereka akan didaftarkan ke catatan sipil bilamana usianya sudah mencapai dewasa. Akibatnya, anak yang dilahirkan dari anak ini, akan memiliki akta atas nama ibu, dan ha katas nama ayah akan hilang. Akhirnya anak yang dilahirkan oleh anak akan mengalami masalah yang besar. Rata-rata karena kehamilan yang tidak diinginkan, dan itu dikawinkan karena dianggap akan menghilangkan aib, padahal akan menimbulkan depresi baru,” tegas Luh Riniti.

Pandangan diutarakan Anak Ayu Sri Wahyuni selaku Ketua Yayasan Lentera Anak Bali, di mana yayasannya telah berdiri sejak Tahun 2008 dan memiliki tujuan untuk mencegah perkawinan anak di bawah umur. Mereka pula diharapkan mendapatkan pendidikan sekolah dari jenjang informal ke jenjang formal.

“Kami bergerak dalam bidang pendidikan anak informal, terutama anak-anak pendatang (Tianyar, Karangasem) di Kota Denpasar, mereka supaya dapat belajar dan memperoleh pendidikan sekolah dari informal ke jenjang formal. Namun, sayangnya kami masih tidak berhasil karena setiap angkatan itu akhirnya putus sekolah ketika sekolah formal itu ditingkat SMA. Mereka ada juga yang masuk Sekolah Dasar (SD), lulus tetapi juga gagal karena mereka tidak tinggal dengan kami, kembali lagi ke orang tuanya dan mereka akhirnya menikah muda,” ujarnya.

Dari pengalamannya, terdapat anak terlanjur memilih untuk menikah saat duduk di kelas 2 SMA. Dalihnya, apabila tidak menikah muda dengan keinginan mendapat orang kaya.

“Ada yang mengatakan kalau dirinya tidak menikah, nanti saya gak dapat orang kaya. Tapi, apa yang terjadi hal itu menjadi pembelajaran, dua tahun kemudian dia kembali minta untuk dilatih kecantikan, ternyata dia merasakan tidak seperti yang dibayangkan (bertemu kenyamanan), tapi justru mendapatkan kesulitan (karir-pendapatan). Nah, ini kan dapat menjadi contoh bagi teman-temannya,” terangnya.

dr. Sri Wahyuni mengatakan betapa pentingnya kesehatan reproduksi, bukan karena semata-mata tidak memiliki uang. Akan tetapi, dari sektor pendidikan mereka menilai meningkatkan derajat belum ada.

“Dianggap yang penting anak delapan bisa bekerja di jalanan dapat uang Rp50 ribu dan punya motor, hanya itulah tujuannya. Mereka tidak bisa baca tulis, hanya tahu main HP, lalu ingin kehidupan seperti di media sosial. Aman dan tidak kerja keras,” tuturnya.

Yayasan Lentera Anak Bali menangani anak-anak yang notabene terpinggirkan asal daerah Karangasem, mereka pula kebetulan berada di Pasar Kumbasari Denpasar.

“Kembali lagi ke orang tua, diduga kadang-kadang orang tuanya tidak mengizinkan anak-anaknya sekolah. Ada pula yang diizinkan sekolah, tetapi anak-anaknya sudah terlanjur sudah tidak dapat berkonsentrasi. Jadi lebih nyaman di luar. Apalagi yang bekerja malam, itu resiko kekerasan seksual cukup tinggi, baik dengan sesama anak. Orang tuanya tidak mungkin memberikan edukasi, karena mereka sudah tiga generasi di jalanan,” tuturnya.

Saat ini memasuki Juli 2023, sudah ada 30 anak yang ditangani Yayasan Lentera Anak Bali dalam wadah Tempat Belajar atau Sekolah Informal di Pasar Kumbasari lantai atas.

“Di sekolah kami ada 30 anak, tetapi yang aktif sekali belajar itu ada 20 anak. Beberapa anak juga masih kesulitan mengakses Kartu Indonesia Pintar (KIP), karena mereka tidak tinggal di desa. Walaupun di desa, kepala desa menyatakan keberatannya bahwa mereka KTP saja tidak punya, akta kelahiran belum cukup. Ini putaran tiga generasi dengan pernikahan muda, dengan pekerjaan yang nyaman untuk mendapatkan uang segera (Mengemis),” katanya memaparkan.

Kedepannya masih sangat dibutuhkan perubahan pola pikir dan pendidikan kepada orang tuanya bahwa anak kewajibannya adalah membantu, bukan bekerja.

“Boleh anak bekerja hanya 2-3 jam sehari dan tidak berisiko, bukan di jalan raya dan di malam hari. Termasuk fasilitas dan hak-hak dasar anak itu tidak didapatkan, sehingga mereka itu tidur ramai-ramai,” bebernya.

Diutarakan Misiyah dari Institut Kapal Perempuan Jakarta bahwa seluruh pihak kini bertanggung jawab dan bersuara untuk menghapus kekerasan terhadap perempuan dan anak, termasuk perkawinan anak di bawah umur. Hal penting lainnya adalah pencegahan dari dalam keluarga, komunitas terkecil di desa, hingga nasional.

“Perkawinan anak merupakan perkawinan di bawah usia 18 Tahun, di mana telah diatur UU Perkawinan usia 19 Tahun. Jadi sebelum usia 19 tahun menikah, artinya melanggar perkawinan anak. Kalau penegakan hukumnya sudah ada, apalagi ini diatur dalam UU Perkawinan yang direvisi pada Tahun 2019, yaitu UU Nomor 16. Perkawinan anak ini juga merupakan salah satu tindak pidana atas kekerasan seksual terhadap anak UU TPKS,” tegasnya.

Tantangan mengenai perkawinan anak juga disinggung Misiyah, atas adanya dispensasi dari Mahkamah Agung (MA). Selain itu, adanya pandangan orang tua apabila si anak tidak lekas menikah, dikhawatirkan akan menjadi perawan tua (faktor budaya), termasuk pandangan kalau anak sudah menikah berarti sudah ada penanggung jawabnya padahal belum tentu demikian adanya.

“Ada laporan, seperti Kepala Desanya dilaporkan karena dia yang mengeluarkan surat (Perkawinan Anak), lalu tantangan terbesar adalah Hakim yang memutuskan dispensasi. Diketahui sudah diatur Mahkamah Agung (MA) bahwa untuk memberikan dispensasi, dinyatakan hamil harus hasil USG tidak boleh hanya sekadar bicara, lalu dispensasi dan dibiarkan boleh menikah,” tegasnya.

Sementara itu, Kadis Sosial Kota Denpasar I Gusti Ayu Laxmy Saraswati mengungkapkan dalam kondisi pandemi Covid-19 tidak dipungkiri sebelumnya banyak orang sibuk bekerja dan tidak mengawasi anak secara baik. Kedua, adalah faktor pergaulan, dan Ketiga faktor media sosial. Dominasi anak-anak korban kekerasan seksual dan semacamnya berasal dari luar Bali.

“Kebanyakan anak-anak putus sekolah dari daerah asal, itu menyebabkan mereka memiliki waktu luang, di mana mereka berkenalan dengan seseorang di media sosial sehingga terjadilah pencabulan, kekerasan, penganiayaan, hingga pengeroyokan,” katanya.

Data Dinsos Kota Denpasar mencatat; 1. Data anak terlantar Pemerlu Pelayanan Kesejahteraan Sosial (PPKS) Tahun 2022 (210 orang); 2. Data disabilitas anak PPKS Tahun 2022 (124 orang); dan 3. Data anak berhadapan dengan hukum (65 orang). 012


TAGS :