Peristiwa

Dewan Bali Ditemui Pendemo Tolak RUU Penyiaran, Perjuangkan Kemerdekaan Pers

 Selasa, 28 Mei 2024 | Dibaca: 300 Pengunjung

Aliansi Masyarakat Bali Tolak Revisi Undang-Undang (RUU) Penyiaran, menyampaikan aspirasi ke DPRD Bali untuk menolak pasal-pasal karet dan anti kemerdekaan Pers, Selasa (28/5/2024).

www.mediabali.id, Denpasar. 

Anggota DPRD Bali menyepi saat didatangi para wartawan dan jurnalis yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Bali Tolak Revisi Undang-Undang (RUU) Penyiaran, Selasa (28/5/2024).

RUU Penyiaran di Bali mendapat respon aksi damai penolakan wartawan dan jurnalis se-Bali, karena dianggap akan menghambat kebebasan berekspresi atau pembatasan atas kemerdekaan Pers. Sayangnya, tidak ada anggota DPRD Bali yang dapat menemui wartawan dan hanya diwakili Sekretaris Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Sekwan) Bali I Gede Indra Dewa Putra.

Aksi damai Aliansi Masyarakat Bali Tolak RUU Penyiaran, digelar berjalan dengan membentangkan spanduk dan yel-yel menolak pasal karet, dari depan Kantor Gubernur Bali dan berjalan menuju ke pelataran depan Kantor DPRD Bali.

"Spirit kita kumpul di sini adalah kemerdekaan. Kemerdekaan pers adalah perjuangan untuk menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Saya menaruh hormat kepada rekan-rekan wartawan, jurnalis, dan aparat kepolisian untuk menyampaikan bahwa pers harus dibebaskan dari segala belenggu aturan yang menyesatkan, termasuk di mana siaran harus distandarkan dan ada lembaga pengawasnya. Sebab, bagian dari investigasi adalah hak kita untuk melakukan kontrol bagi pemerintahan. Suara rekan wartawan dan jurnalis hari ini adalah suara rakyat Bali, untuk memperoleh akses informasi, berkualitas serta valid," ujar Wayan Dira Arsana selaku Pj. Ketua PWI Bali.

Menurut Dira Arsana, aksi damai ini menjadi wujud solidaritas untuk membangun kebebasan pers sebagai marwah perjuangan masyarakat Bali. "Pers harus independen dan bebas dari segala tekanan," tegasnya.

Aliansi Masyarakat Bali Tolak RUU Penyiaran berasal dari berbagai organisasi jurnalis, perusahaan media, dan mahasiswa, serta organisasi dan individu prodemokrasi di Bali. Beberapa organisasi yang tergabung antara lain: Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Bali, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Denpasar, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Bali, Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Bali, Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Bali, Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) Bali, Frontier Bali, Front Mahasiswa Nasional (FMN) Denpasar.

"Pada dasarnya 'penjahat' itu takut kejahatannya dibuka-buka. 'Penjahat' takut kalau korupsinya diungkit-ungkit. Banyak Pasal-pasal karet, pasal terkait pencemaran nama baik, berita bohong, yang bisa ditarik-tarik menjadi pasal karet. Kita lihat sudah banyak jurnalis yang masuk penjara gara-gara menulis berita. Lembaga penyiaran di luar batas memberikan kewenangan kepada KPI. Seharusnya, ketika ada sengketa-sengketa pers sudah ada UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 dan memberikan kewenangan kepada Dewan Pers untuk proses mediasi (statuta Dewan Pers). Ketika KPI diberikan kewenangan justru terjadi tumpang tindih antara KPI dan Dewan Pers," beber Yoyok mewakili AJI.

Agung Kayika dari IJTI Bali juga memberikan keyakinan kepada seluruh wartawan dan jurnalis untuk meneriakan perlawanan RUU Penyiaran.

"Sama saja lewat adanya RUU Penyiaran ini kalian (DPR) membungkam kebebasan Pers. RUU Penyiaran ini tidak saja program eksklusif jurnalistik yang akan dibungkam, termasuk mereka mencoba mengambil alih fungsi-fungsi kebebasan pers terkait UU Pers Nomor 40 Tahun 1999. Terkesan revisi dilakukan secara 'ugal-ugalan', tapi kami akan terus teriakan perlawanan RUU Penyiaran," tegas Kayika.

Ketua JMSI Bali Nyoman Ady Irawan mengungkapkan bahwa dengan RUU Penyiaran akan mengkebiri kemerdekaan pers dan kemerdekaan dalam berkarya.

Salah satunya, Pasal 50B ayat (2) c. larangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi; g. larangan penayangan isi siaran dan konten siaran yang menyajikan perilaku lesbian, homoseksual, biseksual dan transgender; k. larangan penayangan isi siaran dan konten siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan dan pencemaran nama baik.

Melalui larangan atas penayangan jurnalistik investigasi, seolah-olah pemerintah enggan melakukan pembenahan dan menjadikan karya jurnalistik dalam rangka check and balances dalam penyelenggaraan negara, sebaliknya pasal tersebut menunjukkan secara telanjang bahwa pemerintah antikritik, tidak siap dikontrol publik sebagai konsekuensi dari negara demokrasi.

"Pasal ini jelas akan meruntuhkan fondasi kita sebagai jurnalis. Hak masyarakat untuk mendapatkan informasi yang berkualitas akan diberangkus dengan Pasal-pasal di RUU Penyiaran," pungkas Ady.

Tercatat beberapa pasal dikhawatirkan mengkebiri kemerdekaan Pers: Pertama Bab IIIB, dari Pasal 34A sampai Pasal 36B, berisi pasal-pasal yang menyangkut platform digital penyiaran. Seperti Pasal 34F Ayat 2 yang mengatur bahwa penyelenggara platform digital penyiaran dan/atau platform teknologi penyiaran lainnya wajib melakukan verifikasi konten siaran ke KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) sesuai dengan Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Isi Siaran (SIS) bahkan sampai sanksi pencabutan Pasal ini dapat mengekang kebebasan berekspresi warga negara, dan berpotensi menghilangkan lapangan kerja pekerja kreatif, konten kreator di sejumlah platform digital (Youtube, Tiktok, Spotify, Vidio, dll), termasuk podcast di berbagai platform digital, pegiat media sosial dan lainnya.

Kedua, Pasal 8A huruf q: KPI berwenang “menyelesaikan sengketa jurnalistik khusus di bidang Penyiaran” Pasal 42: Muatan jurnalistik dalam Isi Siaran Lembaga Penyiaran harus sesuai dengan P3, SIS, dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Penyelesaian sengketa terkait dengan kegiatan jurnalistik Penyiaran dilakukan oleh KPI sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Catatan kritis kami, pemerintah berusaha mereduksi independensi Dewan Pers dan fungsi UU Pers. Pasal 8A huruf q juncto 42 ayat (1) dan (2) pada draf RUU Penyiaran menimbulkan tumpang tindih antara kewenangan KPI dengan kewenangan Dewan Pers. Pasal tersebut juga menghapus Kode Etik Jurnalistik dan UU Pers sebagai
rujukan dalam menilai siaran-siaran produk jurnalistik, mengalihkan penilaian menggunakan P3 (pedoman prilaku penyiaran) dan SIS (standar isi siaran). Hal ini dapat menimbulkan ketidakpastian hukum pada mekanisme penyelesaian sengketa pers.

Ketiga, Pada drat RUU Penyiaran terdapat penghapusan pasal 18 dan 20 UU Penyiaran Nomor 32/2002. Pasal-pasal ini membatasi kepemilikan TV dan radio. Contoh Pasal ayat (1): Pemusatan kepemilikan dan penguasaan Lembaga Penyiaran Swasta oleh satu orang atau satu badan hukum, baik di satu wilayah siaran maupun di beberapa wilayah siaran, dibatasi. Hilangnya pasal-pasal ini akan mempermulus penguasaan TV dan Radio pada konglomerasi tertentu saja, melanggengkan kartel atau monopoli kepemilikan lembaga penyiaran.

Keempat, Pasal 50B ayat (2) c. larangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi; g. larangan penayangan isi siaran dan konten siaran yang menyajikan perilaku lesbian, homoseksual, biseksual dan transgender; k. larangan penayangan isi siaran dan konten siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan dan pencemaran nama baik.

Aliansi Masyarakat Bali Tolak RUU Penyiaran menyatakan sikap sebagai berikut: 1. Menolak RUU Penyiaran yang sedang dibahas DPR RI; 2. Menolak pasal-pasal yang anti-kemerdekaan pers, anti-demokrasi, antikebebasan berekspresi, anti-HAM; 3. Menolak monopoli kepemilikan lembaga penyiaran; 4. Mendesak Presiden Jokowi dan DPR RI meninjau ulang urgensi revisi UU Penyiaran atau tidak melanjutkan pembahasan RUU Penyiaran; 5. Menuntut Presiden Jokowi dan DPR RI melibatkan partisipasi masyarakat secara bermakna (meaningful participation) dalam pembentukan peraturan dan perundang-undangan, baik undang-undang baru/ pengganti maupun perubahan/ revisi undang-undang,; 6. Menuntut Presiden Jokowi dan DPR RI melibatkan Dewan Pers, organisasi jurnalis, organisasi perusahaan media, dan kelompok masyarakat sipil yang memiliki perhatian khusus terhadap isu-isu yang beririsan dalam hal pers, demokrasi, dan HAM; 7. Menuntut Presiden Jokowi dan DPR RI menghapus pasal-pasal problematik yang berpotensi melanggar hak kemerdekaan pers dan hak publik atas informasi.

Sekwan DPRD Bali, Gede Indra kepada wartawan telah menunjukkan Surat Pengantar Nomor: B.08.000/12901/UMUM/DPRD, yang dicap dan ditanda tangani Ketua DPRD Bali I Nyoman Adi Wiryatama, S.Sos., M.Si. Di mana naskah pernyataan sikap Aliansi Masyarakat Bali Tolak RUU Penyiaran, telah dikirim ke Sekretaris Jenderal DPR RI melalui email.

"Kami sudah terima surat pernyataannya dan sudah disampaikan ke pusat. Mohon dimaklumi pimpinan DPRD Bali tidak berada di tempat. Kami terima kasih kepada aparat kepolisian Polresta Denpasar yang sudah memberikan informasi adanya aksi damai ini," demikian Gede Indra. 012

 


TAGS :